Minggu, 06 September 2009

UPAYA INDUSTRI RADIO HADAPI KEDATANGAN INDUSTRI TELEVISI


A. RADIO DI AMERIKA VS RADIO DIINDONESIA

Penemuan gelombang radio oleh James Maxwell dan Heinrich Hertz merupakan awal perkembangan dunia penyiaran di dunia.
Pada awal abad 19, hasil temuan Maxwell dan Hertz itu dikembangkan oleh Guglielmo Marconi yang bisa mengirimkan pesan melalui gelombang radio (elektromagnetik) ke tempat yang jauh dalam waktu seketika dengan bantuan William C. Morse yang menciptakan kode-kode bunyi yang disebut continues wave (Keith, 2000: 13). Setelah itu banyak para ahli yang menemukan dan mengembangkan pemanfaatan gelombang radio seperti Volta, Oested, Ampere, Ohm, Faraday, Bell dan Henry. Berkat jasa dan pikiran orang-orang tersebut dunia penyiaran sekarang, khususnya radio, berkembang dengan cukup pesat (Baird, 1991: 1). Para penemu itu tentu saja sadar akan penemuannya yang lalu mematenkan dan mengkomersilkan hasil temuannya. Tercatat Marconi menjadi seorang konglomerat dengan kepemilikan perusahaan yang bergerak dalam bisnis telekomunikasi seperti American Marconi dan British Marconi. Alexander Graham Bell dan keturunannya kini menikmati hasil dari perusahaan Bell Pasific dan Bell Atlantic, dua perusahaan yang melayani mayoritas sambungan telekomunikasi di Amerika Serikat hingga kini. Persaingan usaha dari beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang elektronika dan telekomunikasi untuk menguasai hasil penemuan terhebat di abad 20 ini makin meruncing dan cenderung tidak sehat. Akibat saling berebutnya pengusaha untuk menguasai penemuan ini, hingga pada tahun 1930 pemerintah Amerika Serikat harus mengeluarkan Radio Actyaitu akta pembagian kerja bagi tiap perusahaan agar tidak terjadi monopoli usaha dari hilir hingga ke hulu (Dominick, et.al, 2001: 7-15).
Jika di AS orang menemukan sesuatu inovasi lalu menjadi kaya raya, maka mereka selalu berusaha saling berlomba untuk menemukan dan menciptakan sesuatu.
Dunia penyiaran termasuk industri radio makin berkembang karena orientasi untuk mendapatkan keuntungan. Lain halnya dengan di Indonesia, perkembangan dunia radio dimulai dengan hobi beberapa pemuda Indonesiadalam dunia elektronika sehingga mereka membuat pemancar radio. Pemancar-pemancar radio ini tersebar di beberapa kota, dan dijadikan forum komunikasi pemuda khususnya dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dikumandangkan dari
Jl. Pegangsaan Timur (sekarang Jl. Proklamasi) No. 56, Jakarta, rumah kediaman Bung Karno. (Note:Rumah ini kemudian dibongkar, dan di tempat ini kemudian didirikan Gedung Pola atau Pola Pembangunan Indonesia, yang sebetulnya tidak pernah berlangsung semasa pemerintahan Bung Karno --- thank's for information & correction, Bang Mimar), Radio Republik Indonesia (RRI) yang mengumandangkannya dari berbagai kota itu sebenarnya adalah stasiun radio milik pribadi para pemuda itu. Akhirnya karena jiwa patriotisme dan kecintaan pada dunia elektronika, maka dibentuklah Radio Republik Indonesia (RRI) yang kita kenal hingga kini. Radio swasta pun juga dimulai dari para pemuda yang mempunyai hobi elektronika tapi tak mau bergabung dalam RRI. Stasiun-stasiun radio (stara) ini dikenal sebagai radio amatir, karena dianggap dijalankan oleh orang-orang amatir bukan profesional seperti halnya orang-orang RRI. Hingga sekitar tahun 1967, ketika International Telecommunication Union (ITU) sebuah badan PBB yang mengatur penggunaan gelombang radio meminta pada pemerintah RI untuk menertibkan penggunaan gelombang radio, maka pemerintah membagi penggunaan gelombang (frekuensi) radio untuk keperluan beberapa organisasi atau badan usaha dan navigasi, seperti ORARI (Organisasi Amatir Radio Indonesia) yaitu organisasi bagi orang-orang yang menggunakan gelombang radio untuk memuasakan hobi elektronika, RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia) yaitu organisasi bagi orang-orang yang menggunakan gelombang radio untuk berkomunikasi antar penduduk, PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) yaitu organisasi perusahaan yang menggunakan gelombang radio untuk melakukan siaran radio komersil, dan juga peruntukkan navigasi dan usaha-usaha lain.
Latar belakang patriotisme dan hobi dalam dunia radio inilah yang menyebabkan mengapa banyak sekali stasiun radio swasta yang berpindah tangan baik karena akuisisi ataupun merger.
Parapemilik dan pengelola stasiun radio swasta tidak menganggap stasiun radio miliknya itu sebagai suatu badan usaha melainkan hanya sekedar hobi. Maka ketika pada sekitar tahun 1979, saat TVRI dilarang menyiarkan siaran iklan, industri radio bukannya makin berkembang malah banyak pemilik radio yang terpaksa menyerahkan sebagian saham mereka pada orang lain, baik dalam bentuk akuisisi maupun merger, karena mereka tidak profesional dalam mengelola stasiun radionya.
Dari uraian di atas dapat dipahami mengapa industri radio di Amerika Serikat amat sangat menomorsatukan keuntungan (
profit oriented) dan berkembang dengan pesat, sementara industri radio di Indonesia terlihat jatuh bangun dengan adanya akuisisi atau merger pada banyak station. Banyak orang yang masih menganggap sebelah mata dunia industri radio, apalagi dibandingkan dengan industri televisi dan media cetak.

B. RADIO DAN KEHADIRAN TELEVISI

Pada waktu radio pertama kali mengudara, yaitu di tahun 1920-an, belum banyak orang yang mempunyai pesawat penerima siaran radio. Mendengarkan radio merupakan suatu kegiatan komunitas, dimana orang mendengarkan radio bersama para tetangga, teman dan sanak keluarga, di rumah seseorang yang beruntung telah mempunyai pesawat radio. Mereka akan berkumpul bersama mengelilingi radio untuk mendengarkan program-program yang disiarkan. Saat itu radio layaknya bagai televisi saat ini, dimana orang mendengarkannya sambil memandangi pesawat, tanpa melakukan kegiatan lain. Hingga tahun 1950-an, radio merupakan salah satu sumber informasi utama yang memberi dampak lebih besar dibandingkan dengan koran. Kekalahan Hitler di Eropa juga merupakan dampak dari siaran propaganda radio sekutu yang dipelopori AS (Warren, 1992: 21).

Sebagai media utama, radio hanya menyiarkan koleksi program-program berdurasi pendek seperti program-program berdurasi 5, 10, 15 menit dan features mingguan berdurasi 30 atau 60 menit. Program komedi dan drama sangat disukai oleh pendengar. Saat itu bioskop juga merupakan media informasi utama berbentuk audio-visual. Tetapi karena bioskop membutuhkan kehadiran orang ke gedung bioskop, sejumlah uang dan waktu khusus untuk menikmatinya, radio menjadi lebih populer (Warren, 1992: 22).

Pada saat teknologi televisi muncul, yaitu pada akhir 1940-an dan meledak pada tahun 1950-an, sedangkan di Indonesia pada tahun 1962, kedudukan radio mulai sedikit demi sedikit digantikan oleh televisi. Oleh sebab itu para pemrogram (programmer) radio mulai memikirkan bentuk lain dari program acara di radio yaitu yang lebih personal dan mempunyai target khalayak yang lebih tersegmentasi (segmented). Sebab apa yang diberikan oleh radio sebelum televisi muncul, juga diberikan oleh televisi yang tentunya plus gambar visual. Maka para programmer radio menciptakan sistem format dengan penekanan pada siaran musik, yang dimulai dari munculnya inovasi musik Rock”n” Roll yang berakar pada musik “kaum hitam” di AS yaitu Rhythm & Blues (R&B). Pada tahun 1955, kelompok “Bill Haley and the Commets” merekam album “Rock Around the Clock” yang menghasilkan penjualan yang spektakuler, karena diputar di seluruh station di AS. Kelompok ini diikuti pula dengan kesuksesan artis musik lainnya seperti The Beattles dan Elvis Presley. Sejak itu, para broadcasters mulai terbuka matanya, dan menyadari bahwa sesuatu yang unik telah tiba, yaitu pemutaran lagu-lagu top hits akan meningkatkan jumlah pendengar. Akhirnya mulai muncul radio-radio yang menyiarkan lagu-lagu dengan penekanan pada 40 lagu-lagu yang paling laris di pasaran. Format Top 40 inilah yang merupakan cikal bakal munculnya format-format radio lainnya, yang akhirnya saling bertempur untuk memperebutkan khalayak dan pemasukan iklan (Straubhaar & LaRose, 2002: 147-160).

Kehadiran televisi dengan aneka program komedi, drama, berita dan sebagainya, membuat radio yang tadinya menekankan pada “program” apa yang akan mereka sajikan pada masyarakat, mengubah orientasi mereka pada “format” apa yang akan mereka siarkan. Radio berubah menjadi media yang menyiarkan rangkaian musik khusus untuk pendengar yang khusus sepanjang waktu dan menyelipkan aneka program tambahan seperti yang disajikan oleh TV. Sejalan dengan berubahnya radio menjadi media “format”, kebiasaan mendengar masyarakat juga berubah. Saat ini, orang dapat tetap menyalakan radio sepanjang hari, tanpa harus meninggalkan pekerjaan pokok mereka. Radio berubah menjadi “teman” bukan “hiburan”. Radio berubah fungsi dari media utama menjadi media kedua.

Pada pertengahan tahun 1950-an setelah transistor ditemukan dan mulai dipopulerkan pada tahun 1960an, pesawat radio menjadi lebih murah harganya dan dapat dijangkau oleh lebih banyak orang. Radiopun mulai berbentuk lebih kecil dan ringan sehingga dapat dibawa keman-mana, juga dapat dipasang di mobil, sehingga orang tidak lagi harus mendengarkan radio di rumah. Hal ini menimbulkan kompetisi antar format radio di AS, yang dimulai pada tahun 1960-an.
Di Indonesia seperti halnya di AS, munculnya televisi pada awal khususnya televisi swasta di awal 1990an mulai meningkatkan kesadaran akan pentingnya format radio dan pemilihan segmen pendengar, sebab munculnya TV swasta memberi dampak sangat besar dengan menurunnya perolehan iklan mereka. Apalagi setelah stasiun radio dengan teknologi FM yang mulai populer di pertengahan 1980an dengan kesuksesan perolehan iklan oleh ketiga radio FM pertama yaitu
Suara Irama Indah, Ramako dan Bahana, membuat station lain saling berlomba untuk pindah ke gelombang FM.
Gelombang FM memberikan kualitas musik yang lebih jernih dan alami karena dilengkapi dengan fasilitas stereo, sehingga lebih unggul dibanding gelombang AM. Para pengelola radio station mulai berlomba-lomba memindahkan siaran mereka ke gelombang FM. Akhirnya gelombang AM mulai ditinggalkan pendengarnya.
Sejalan dengan kompetisi yang makin keras di gelombang FM, beberapa radio yang sudah lebih lama menerapkan sistem radio “format”, mulai melirik format yang lain dan khas, selain format musik yang diadaptasi dari AS. Pada tahun 1990,
Ramako mulai mencoba positioning sebagai radio “news” yang memberikan informasi hard news dalam bentuk talk show yaitu “Magic Breakfast” dan sisipan berita aktual disela siaran musiknya. Radio TMI yang sebelumnya merupakan radio milik Taman Mini Indonesia Indah, sukses dengan positioning “Terminal MusikIndonesia”. Radio CBBdengan positioning “Bandar Dangdut Jakarta”. Namun kesuksesan satupioneer menimbulkan banyak followers, bahkan banyak followers dengan keunggulan manajemennya akhirnya bahkan lebih unggul dari sang pioneer.

Picard mengatakan bahwa kompetisi media itu terdiri dari dua jenis yaitu kompetisi
intermedia(intermedia competition) yaitu kompetisi antara dua atau lebih jenis media yang berbeda dan kompetisi intramedia (intra media competition) yaitu kompetisi antara media sejenis (Picard, 2002: 150-152).
Pada saat industri televisi muncul di Indonesia, radio tidak saja mengalami kompetisi intermedia dengan televisi dan media cetak tetapi juga intra media dengan radio-radio lain. Hal ini diakibatkan dengan menciutnya jatah “kue iklan” atau belanja iklan yang semula hanya diperebutkan oleh radio dan media cetak, yang bahkan jatah untuk televisi lebih besar dari pada jatah untuk radio dan media cetak.

C. UPAYA RADIO MENGHADAPI TELEVISI

Hingga tahun 1979, saat TVRI dilarang memutar siaran iklan, kue iklan masih diperebutkan oleh ketiga media massa tersebut di atas. Setelah TVRI dilarang menyiarkan iklan, radio berjaya dalam perolehan iklan, karena praktis perebutan kue iklan hanya dengan media cetak, walaupun dalam hal media informasi radio “diberangus” oleh pemerintah dengan pelarangan pembuatan berita sendiri dan kewajiban relay RRI 13 kali sehari untuk radio yang mengudara sejak pukul 5 pagi hingga pukul 24 dini hari, dan setelah itu hingga pukul 5 pagi tiap jam harus merelay RRI.
Namun pada tahun 1989, pemerintah memberikan izin siaran televisi swasta
RCTI, mulai merupakan ancaman bagi radio. Apalagi setahun kemudian, televisi swasta yang tadinya hanya berupa televisi berlangganan, pada akhirnya diperbolehkan melakukan siaran untuk umum. Berdirinya 4 stasiun TV swasta lainnya setelah RCTI, makin membuat radio menjadi makin terpuruk, karena jatah kue iklan lebih banyak jatuh ke televisi, media cetak dan terakhir radio.
Saat itu, beberapa radio di Jakarta mulai mengambil langkah. Seperti
Radio Ramako Groupyang mempunyai 5 buah stasiun radio, tiga stasiun berada dalam wilayah pasar JABODETABEK, yaitu Ramako FM (sekarang bernama LITE FM), Mustang FM, dan KIS FM, serta dua stasiun berada di wilayah pasar Pulau Batam dan sekitarnya termasuk Singapura, mengambil upaya dengan memperkenalkan sistem One Stop Shopping untuk stara mereka di wilayah JABODETABEK. Sistem ini merupakan sistem penjualan iklan per paket yaitu dengan satu harga iklan pemasang iklan dapat berpromosi di tiga radio. Hasilnya cukup signifikan dalam mendongkrak billing iklan khususnya untuk produk-produk berskala nasional yang ditujukan untuk konsumen yang lebih umum berusia 15 tahun ke atas. Namun untuk produk-produk yang ditujukan untuk konsumen yang khusus (segmented) sistem ini kurang berhasil. Untuk itu Radio Ramako Group juga memberlakukan harga khusus yang jauh lebih murah untuk klien-klien lama mereka dan pemasang iklan yang memasang untuk minimal pemasangan 300 spot per bulan. Mereka juga memberikan diskon-diskon khusus untuk pemasang iklan yang memesan space iklan untuk beberapa bulan ke depan atau yang pembayarannya lancar. Sebab saat itu para pemasang iklan bukan hanya tidak banyak memberi jatah iklan pada industri radio, tetapi mereka juga menunda-nunda pembayaran iklan yang telah terpasang.
Radio Ramako Group tidak begitu membuat upaya bagi radio mereka yang berada di Pulau Batam, karena dampak munculnya TV swasta tidak begitu terasa di Batam. Radio mereka di Batam terbiasa mengambil iklan produk-produk lokal dari Pulau Batam dan sekitarnya, termasuk Singapura, dan juga produk internasional yang pasarnya di Singapura. Rupanya dampak TV swasta memang terbanyak dialami oleh stara di JABODETABEK. Ari Maricar, Direktur Panorama FM, Tretes, Jawa Timur, mengatakan bahwa ketika TV swasta hadir dan menyedot sebagian besar iklan berskala nasional, dampaknya pada stasiun radio lokal hampir tidak terasa, sebab stara daerah terbiasa mendapatkan iklan dari produk-produk lokal seperti dari binatu, wartel, toko roti, tempat kursus, dan sebagainya.
Beberapa radio di JABODETABEK yang tidak siap secara manajemen dalam menghadapi merosotnya “kue iklan” ke radio, mulai jatuh satu persatu, yang akhirnya terpaksa merger atau diakuisisi oleh beberapa stara yang besar dan memang sudah menjadi pemimpin dalam meraih pasar, seperti Radio Prambors membentuk grup perusahaan radio bernama Masima Group, yang mengakuisisi Radio PTDI (Perguruan Tarbiyah Dakwah Islamiyah) lalu menjadikannya sebagai radio Delta FM, Radio Monalisa yang kemudian dijadikan radio M97 (note:kini sudah tak berada dalam group Masima), Radio Suara Perkasa lalu menjadikannya SP FM (note: saat ini SP FM sudah tidak dalam group Masima dan masuk dalam MNC Group dengan nama TPI Dangdut), Radio Mercy FM lalu dijadikan Female FM, dan ironisnya Radio Bahana FM yang merupakan salah satu dari tiga radio FM pertama di Indonesia, akhirnya harus bersedia merger dengan Grup Masima, meski hingga kini nama stara tersebut tetap Bahana FM. Prambors FM dengan Grup Masimanya berhasil mengakuisisi dan mergerdengan beberapa radio di JABODETABEK dan beberapa kota lainnya di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Di awal tahun 2000an, Grup Masima yang juga bergerak diberbagai bisnis yang berhubungan dengan radio, kemudian juga membuat suatu jaringan radio yang diberi namaJaringan Delta Female Indonesia (JDFI). Sistem pencarian iklanpun sama dengan gaya Radio Ramako Group yaitu dengan sistem paket yang tentunya jika ditotal akan lebih murah dibandingkan Radio Ramako Group yang hanya menawarkan tiga stara di JABODETABEK, sementara grup Masima menawarkan lebih dari sepuluh stara. Jangkauan siaran pun lebih luas karena grup Masima mencakup beberapa kota di tiga pulau besar di Indonesia.
Mengikuti keberhasilan Masima Group, beberapa pengusaha dengan latar belakang bukan dari dunia radio, mulai masuk ke industri radio dan mulai mencari stara-stara yang berada diambang kehancuran akibat hadirnya televisi. Saat ini tercatat beberapa group radio terbesar di Indonesia selain Masima Group dan Radio Ramako Group yaitu MRA Group yang terdiri dari rangkaian stara bernama I-Radio, Hardrock FM, Trax FM, dan Cosmopolitan FM yang juga ada di beberapa kota di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi plus satu stasiun televisi O Channel; MNC Group yang terdiri dariTrijaya FM, ARH Global, TPI Dangdut FM, Prapanca FM Medan, dan beberapa radio di beberapa kota di Jawa dan Sumatra, serta stasiun televisi RCTI, TPI, danGlobal TV; Etnikom yang terdiri dari beberapa radio Etnik di Jawa dan Sumatra; Smart FM Group yang terdiri dari beberapa stara di Jawa, Sulawesi dan Kalimantan; serta POLARIS GROUP yang terdiri dari beberapa stara di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.
Setelah munculnya grup-grup perusahaan dalam industri radio untuk mendapatkan pemasukan iklan, maka para pemasang iklan akhirnya mulai melirik kembali pada
industri radio untuk mempromosikan produk mereka. Pasalnya jangkauan siaran radio dianggap cukup luas dengan pendengar yang cukup signifikan untuk berpromosi, dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan iklan televisi. Apalagi karena sifat radio yang personal dan segmented, membuat pendengarnya cukup loyal untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh para penyiar radio pujaan mereka, sehingga banyak para pengusaha yang mempercayakan produknya untuk diiklankan dengan sentuhan personal oleh para penyiar radio. Misalnya perusahaan telepon seluler IM3mempercayakan produknya dipromosikan setiap hari oleh Radio Mustang FM dalam acara SPADA(Sepanjang Pagi Bercanda) dengan topik SPADAMU NEGERI BERSAMA IM3 dengan penyiarnya yang cukup kondang yaitu Rico Ceper dan BeduNgelenong Yuk”, radio Mustang FM juga menggunakan nomor IM3 sebagai nomor pesan singkat yang dapat menerima pesan singkat dari pendengarMustang FM sehingga pendengar Mustang FM pun berlomba untuk menggunakan IM3. (Note: saat ini program Spada telah berganti dengan program Super Duper yang mesih disponsori oleh IM3)
Upaya stasiun radio lainnya selain membuat grup dengan jaringan (
network) beberapa stara di beberapa kota yang melibatkan perpindahan saham kepemilikan, juga bisa mengikuti program sindikasi (syndicated program), yaitu beberapa stara bergabung membuat satu program yang dapat dikonsumsi oleh semua stara di seluruh Indonesia yang menjadi anggota sindikasi. Pembuatan jaringan dan sindikasi yang luas di beberapa kota akan lebih mudah menarik pengiklan berskala nasional dibandingkan dengan stara yang tunggal tanpa jaringan.
Sementara itu stara dengan kepemilikan tunggal atau stara dari daerah khususnya bagi stara yang tidak mempunyai afiliasi atau jaringan,
untuk mendapatkan iklan yang lebih banyak adalah dengan menggunakan jasa suatu perusahaan marketing, yaitu sebuah perusahaan yang mengkhususkan mencari iklan untuk radio-radio yang merasa tidak mempunyai sales force yang kuat untuk meraih iklan, khususnya iklan berskala nasional. Tentunya dengan konsekuensi mereka tidak bisa mengharapkan pendapatan yang optimal akan iklan tersebut karena harus memberikanhandling fee atau marketing fee pada perusahaan tersebut.

Masima Group merupakan konglomerasi radio yang paling dulu membidik peluang ini, mereka mendirikan perusahaan Radio Net yang pada mulanya didirikan untuk mencari iklan bagi stara yang tergabung dalam jaringannya. Namun kemudian beberapa radio dengan kepemilikan tunggal, khususnya radio dari daerah mulai minta dicarikan iklan juga, sehingga akhirnya Radio Net melayani tidak kurang dari seratus stara. Upaya ini juga diikuti oleh beberapa mantan praktisi radio yang membuka perusahaan jasa serupa.
Namun tentu saja selain harus memberikan
handling fee pada Radio Net, jika budget iklan dari suatu produk yang akan beriklan itu terbatas, maka yang akan didahulukan mendapat iklan adalah radio-radio milik kelompok perusahaan Masima Group.
Walau bagaimanapun, pemakaian jasa marketing ini dapat memangkas biaya marketing.


REFERENSI:

Baird, Lois (Ed). Guide to Radio Production. London: University College London Press, 1994

Dominick, Joseph R, Barry L. Sherman, Ftritz Messere.Broadcasting, Cable, The Internet and Beyond: An Introduction to Modern Electronic Media. 4th edition. Singapore: McGraw Hill, 2001

Keith, Michael C, Stasiun Radio: Teknologi, Jakarta: Internews Indonesia, 2000

Picard, Robert G. The Economics and Financing of Media Companies, New York:FordhamUniversity Press, 2002

Straubhaar, Joseph dan Robert LaRose. Media Now: Communication Media in teh Information Age. 3rd edition. Belmont: Wadsworth, 2002

Warren, Steve, Radio the Book: A Fun, Practical Programming Manual and Idea Book for Program Directors and Operation Managers, New York: MOR Media, 1992

Selasa, 04 Agustus 2009

THE MEDIA ORGANIZATION: PRESSURES AND DEMANDS



Tulisan ini adalah ringkasan dari salah satu bab dalam buku Dennis McQuail "Mass Communication Teories" edisi ke 5 terbitan SAGE Publication tahun 2005, dengan judul bab yang sama dengan judul tulisan ini.

Perubahan terbesar dalam struktur industri media, khususnya karena proses globalisasi, kepemilikan konglomerasi, serta fragmentasi organisasi media, menghasilkan tantangan-tantangan teoritis yang baru. Cara distribusi produksi media yang bukan saja melalui media konvensional seperti surat kabar, radio, ataupun televisi melainkan juga melalui media baru seperti kabel, satelit, dan internet, juga memberi sumbangan bagi bentuk baru dari organisasi media. Pertanyaan yang muncul adalah mampukah teori-teori yang ada menjawab permasalahan-permasalahan dalam komunikasi massa, khususnya yang berkaitan dengan organisasi media dan produksi media.

Dalam bab ini akan dibahas beberapa riset dan metodologi tentang organisasi media, khususnya tentang jenis-jenis pengaruh atau hubungan-hubungan, serta konflik-konflik yang berdampak pada produksi media. Termasuk di dalamnya pengaruh-pengaruh dari luar seperti masyarakat dan pasar media, juga pengaruh dari pemilik media, pengiklan dan khalayak media tersebut. Penelitian-penelitain ini utamanya akan melihat dari perspektif komunikatornya sendiri.

Selain itu penelitian-penelitian yang akan dibahas juga akan melihat hubungan-hubungan internal dalam organisasi media, dan pada konflik, tekanan-tekanan, serta masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi media. Tekanan utama timbul dari dilema tentang pertentangan potensial seputar apakah sebuah produksi media lebih mementingkan keuntungan atau seni dan kegunaan sosial. Selain itu juga akan dibahas tentang masalah-masalah bagaimana mencari titik temu antara kreatifitas dan kebebasan editorial dengan kebutuhan rutin dan produksi berskala besar.

Tujuan utama dari bab ini adalah untuk mengidentifikasi dan menilai pengaruh-pengaruh potensial dari berbagai faktor organisasi dan komunikator pada apa yang seharusnya diproduksi oleh sebuah media. Riset tentang pembuatan berita, yang segera dapat terlihat dengan adanya pola dan seleksi isi berita yang terkadang bias, merupakan pekerjaan rutin sebuah “pabrik berita”, dan juga kenyataan simbolik dari konstruksi berita yang sangat dapat ditebak.

METODE DAN PERSPEKTIF RISET

Unsur struktural dalam organisasi media dapat terlihat dari munculnya konsekuensi langsung bagi suatu tindakan yang dilakukan oleh organisasi media tersebut. Tindakan tersebut merujuk pada seluruh aktifitas sistem yang mempengaruhi penampilan dari produksi media yang diberikan pada khalayak. Untuk hal ini, kita akan melihat tidak saja dari unsur-unsur internal dari organisasi-organisasi media, tapi juga pada hubungan-hubungan yang terjadi dengan organisasi-organisasi lain dalam masyarakat yang lebih besar.

Sebagian besar riset dan teori yang dibahas dalam bab ini lebih mengarah pada media-centric´dibandingkan socio-centric. Riset biasanya menggunakan gabungan pengukuran kuantitatif dan kualitatif. Metode riset paling utama dalam mengevaluasi produksi sebuah media adalah berupa pengamatan partisipatif dari orang-orang yang bekerja pada media atau melalui wawancara mendalam dengan informan-informan yang terkait. Kesulitan metode ini adalah perlu kerjasama dari organisasi media yang diteliti. Pada beberapa hal, riset survei telah memberikan tambahan informasi yang penting, seperti tentang peran berdasarkan pekerjaan dan komposisi sosial.

Secara umum, teori ini dibentuk dengan landasan riset tentang organisasi media yang mendukung pandangan bahwa isi media secara sistematis lebih dipengaruhi oleh kegiatan rutin, praktek-praktek dan tujuan-tujuan organisasi, dibanding pengaruh dari faktor-faktor personal dan ideologi. Bagaimanapun proposisi ini sangat terbuka untuk interpretasi-interpretasi lain. Mungkin saja kepemilikan dan kontrol media ternyata mempengaruhi isi media sehingga dapat mendukung pandangan sosial kritis.

Hal ini juga mencerminkan fakta bahwa standardisasi atau proses produksi massal apapun berkaitan dengan beberapa pengaruh sistematik pada isi media. Dari perspektif sebelumnya, “bias” yang terjadi pada produksi isi media lebih disebabkan akibat rutinitas kerja dibanding oleh ideologi yang tersembunyi.

ISU-ISU UTAMA

Terdapat dua masalah yang timbul dari struktur dan isi media:

1. Seberapa besar derajat kebebasan organisasi media mempunyai hubungan dengan masyarakat yang lebih luas dan berapa besar kebebasan mungkin terjadi dalam sebuah media?

2. Bagaimana rutinitas kerja organisasi media dan prosedur pemilihan serta proses produksi isi media berpengaruh pada apa yang dibuatnya?

Kedua pertanyaan di atas merujuk pada dualisme yang telah disebutkan di atas yaitu tentang efek struktural pada pelaksanaan organisasi dan efek pada isi yang diproduksi oleh media.

Shoemaker dan Reese (1991) menyebutkan lima hipotesis utama tentang pengaruh faktor-faktor struktural dan organisasi pada isi media seperti berikut ini:

1. Isi media merupakan refleksi dari kenyataan sosial (media massa sebagai cermin masyarakat)

2. Isi media dipengaruhi oleh sosialisasi dan sikap para pekerja media (a communicator-centered approach)

3. Isi media dipengaruhi oleh rutinitas kerja organisasi media.

4. Isi media dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sosial dan kekuatan-kekuatan dari luar media.

5. Isi media adalah fungsi dari posisi ideologi dan memelihara status quo (the hegemony approach).

Dalam bab ini akan dibahas hipotesis kedua, ketiga dan keempat, karena ketiganya yang paling relevan untuk membahas tentang organisasi media. Secara umum diasumsikan bahwa organisasi media tidak berjalan secara otonomi, tetapi ditekan oleh sumber-sumber kekuatan lain, khususnya politik dan ekonomi. Semakin terlihat sebuah media dipengaruhi oleh kekuatan dari luar, semakin masuk akal hipotesis yang dikemukakan.

TINGKATAN-TINGKATAN ANALISIS

Media organisasi sulit dikatakan sebagai model bentuk yang ideal. Terminologi asli diperluas berdasar pada model surat kabar yang independen dengan prinsip-prinsip manajemen, finansial, pengumpulan berita, pengeditan, pemrosesan, percetakan dan distribusi dalam satu atap. Model seperti ini tidak selalu menjadi ciri khas media pada umumnya.

Keberagaman bentuk pengorganisasian disesuaikan dengan kelompok penguasa yang disebut sebagai komunikator massa. Kategori seperti ini dapat dibagi menurut tipe media, ukuran, status dari organisasi kerja, status karyawan dan lain-lain.

Walaupun beragam, kita masih dapat bertanya tentang produksi media dalam kerangka berpikir yang umum. Langkah penting adalah berpikir dalam terminologi level analisis, maka fase kerja media dan hubungan yang penting antara unit-unit organisasi dan antara media dengan dunia luar dapat dipelajari. Level utama dan sumber pengaruh yang berhubungan berdasarkan jarak dari poin produksi adalah supranasional, masyarakat, industri media, organisasi skalabesar, komunitas, organisasi, dan individu.

ORGANISASI MEDIA DALAM KEKUATAN SOSIAL

Westley dan MacLean memperlihatkan model komunikasi massa berpengaruh yang menyatakan bahwa tugas komunikator seperti perantara, yaitu sebagai penasihat hukum dalam masyarakat sehubungan dengan pesan yang dikirimkan di satu pihak, dan sebagai pemuas kebutuhan informasi dan komunikasi masyarakat. Sedangkan Gerbner menggambarkan komunikator massa sebagai pelaksana di bawah tekanan berbagai faktor eksternal kekuasaan seperti klien, kompetitor, penguasa, para ahli dan institusi, serta khalayak.

HUBUNGAN DENGAN MASYARAKAT

Ada pengaruh masyarakat terhadap media yang berkesinambungan dan timbul secara nyata dalam semua hubungan eksternal media. Pada masyarakat demokratis-liberal, media bebas beroperasi dengan dibatasi hukum-hukum. Tetapi pertentangan masih saja terjadi antara pemerintah dengan lembaga sosial yang kuat. Media secara terus-menerus mengajak (kadang-kadang bertentangan) dengan sumber utama dan kelompok penekan yang terorganisir.


Kebimbangan dari Tujuan Organisasi Media

Menurut teori organisasi perbedaan tujuan organisasi terjadi antara tujuan organisasi yang utilitari dengan tujuan organisasi yang normatif (Etzoni, 1961). Organisasi utilitari bertujuan menghasilkan atau menyediakan barang dan jasa untuk tujuan finansial, sedangkan organisasi normatif bertujuan memajukan nilai-nilai atau mencapai kondisi yang berharga berdasarkan komitmen sukarela dari para anggota. Sejak digabungkannya tujuan organisasi utilitari dengan tujuan organisasi normatif dalam tipologi tersebut, kedudukan organisasi media komunikasi dalam hal tersebut tidak tegas. Beberapa dijalankan secara bisnis tetapi dengan tujuan yang ideal, dan beberapa dijalankan dengan tujuan sosial budaya yang ideal tanpa mencari keuntungan. Contohnya organisasi penyiaran publik di Eropa memiliki birokrasi tetapi tidak mencari keuntungan dalam tujuan sosial dan budaya.

Pendapat lain tentang klasifikasi organisasi didasari oleh pembedaan tipe penerima manfaat (type of beneficiary). Blau & Scott mengemukakan pertanyaan, ”Apakah masyarakat secara keseluruhan, sekumpulan klien, pemilik, khalayak, atau karyawan organisasi, kesejahteraan atau kepentingannya sudah terlayani?”. Tidak ada jawaban yang pasti yang dapat diberikan untuk media keseluruhan, dan beberapa organisasi tertentu sering menerima manfaat utama. Meskipun ada pembenaran bahwa publik umum (bukan khalayak langsung) yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama. Unsur yang umum dalam teori pers normatif bahwa media harus mengutamakan kebutuhan dan kepentingan khalayaknya terlebih dahulu, baru kemudian memenuhi kepentingan para klien dan pemerintah. Sejak media tergantung pada pilihan sukarela khalayaknya, prinsip-prinsip ini memiliki landasan yang masuk akal dan serasi dengan pandangan pemilik media tersebut.

Tunstal menggambarkan tujuan organisasi dari aliran jurnalistik baru dalam terminologi ekonomi, membagi antara sasaran berpendapatan (revenue goal) dengan sasaran tidak berpendapatan (non-revenue goal). Sasaran tidak berpendapatan bertujuan tanpa aspek keuangan langsung, pencapaian prestise, penerapan pengaruh atau kekuasaan dalam masyarakat, atau pencapaian beberapa tujuan normatif, contohnya pelayanan masyarakat. Sedangkan sasaran berpendapatan mempunyai dua bentuk, yaitu sasaran yang pendapatannya dari penjualan langsung ke pelanggan, dan sasaran yang pendapatannya dari pemasang iklan.

Dalam tipologi ini, kedudukan khalayak tampak berada di bawah, namun kenyataannya kepuasan para pemasang iklan dan perolehan pendapatan dari penjualan tergantung pada kemampuan menyenangkan khalayak, dan sasaran tidak berpendapatan sering diciptakan dengan beberapa konsep kepentingan publik yang luas. Lebih jauh, Tunstal menyatakan apabila terjadi konflik sasaran dalam surat kabar, maka sasaran menyenangkan khalayak untuk peningkatan sirkulasi, berfungsi sebagai sasaran koalisi dimana sebagian besar orang akan setuju, terutama pihak manajeman dan jurnalis.

Beberapa organisasi media, terutama media pelayanan umum dengan tujuan membentuk pendapat atau pemberi informasi, memainkan peranan dalam masyarakat. Tetapi sebenarnya peranan ini juga memberi kemungkinan terjadinya penafsiran yang beragam. Menurut Padioleau, beberapa surat kabar bergengsi berupaya merebut pengaruh melalui pemantapan kualitas informasi atau otoritas pandangan mereka. Ada beberapa cara lainnya untuk menanamkan pengaruh, bukan hanya dilakukan oleh elit pers internasional. Media berskala kecil pun dapat berpengaruh dalam kondisi yang terbatas dan pengaruhnya dapat diperoleh melalui sirkulasi surat kabar dan televisi yang populer.


Tujuan utama dari organisasi media :

· Keuntungan

· Pengaruh sosial dan prestise

· Memaksimalkan khalayak

· Tujuan-tujuan bidang (politik, agama, budaya)

· Pelayanan kepentingan umum

Peran Jurnalis : Keterikatan atau Netralitas

Ada dua golongan peran jurnalis, yaitu peran aktif dan netral dalam masyarakat. Cohen membagi peran reporter menjadi :

1. Reporter netral, sebagai pencari informasi, penerjemah, dan alat pemerintah.

2. Peserta aktif, dikenal dengan istilah traditional fourth estate, meliputi ide-ide pers sebagai wakil masyarakat, pengkritik pemerintah, pendukung kebijakan, dan sebagai ”anjing penjaga”.

Pada kenyataannya peran yang netral digemari para jurnalis.

Weaver menyimpulkan dari suatu pandangan studi jurnalis di 21 negara, bahwa satu-satunya peran profesional yang disetujui para jurnalis adalah pentingnya publik mendapatkan informasi secara cepat. Secara sederhana dalam dikotomi “Neutral” versus “Participant”, Weaver dan Wilhoit menyarankan suatu pembedaan tiga peran, yaitu sebagai :

1. Interpreter (penafsir), menganalis dan menafsirkan masalah kompleks, meneliti tuntutan yang dikeluarkan pemerintah, membahas kebijakan nasional yang berlaku.

2. Disseminator (penyebar), penyampaian informasi kepada Publik secepatnya, dan pemusatan perhatian pada khalayak terbesar.

3. Adversary (penentang), berperan bagi pemerintahan bisnis, perannya lemah tapi masih diakui keberadaannya oleh kebanyakan jurnalis.

Profesionalisme Media

Pada komunikator massa, profesionalitas mengalami kemunduran karena keanekaragaman internal media dan sasaran yang luas. Juga terdapat ketidakpastian yang mencemaskan tentang apa yang dimaksud dengan keterampilan utama para jurnalis. Max Weber menyatakan bahwa jurnalis dapat digolongkan dalam “kasta paria”, tidak memiliki klasifikasi sosial yang tegas. Schudson menempatkan karakterisitik jurnalis sebagai ”profesi tanpa penyekat”, karena tidak memiliki ruang lingkup kerja jelas. Kriteria umum sebagai profesionalis :

· Profesi dengan seleksi yang ketat

· Keahlian khusus yang membutuhkan pelatihan

· Terikat pada kode etik dan estándar jurnalis

· Mempunyai peran sosial yang signifikan

· Mempunyai otonomi untuk meningkatkan keterampilan

Jurnalisme Online

Jurnalisme Online terbentuk dengan berdirinya organisasi-organisasi pemberitaan, walaupun masih diadaptasi dari versi cetak. Juga terdapat beragam sumber yang independen, ditambah dengan ketidakprofesionalan dan keganjilan. Jurnalisme online dapat diinterpretasikan secara positif maupun negatif. Boczkowski (2004) melihat aliran ini sebagai aliran yang kurang kejurnalisannya (less journalist centred), dan lebih berorientasi pada pengguna (user), inilah yang menyebabkan ketidakjelasan batasan sebagai kegiatan profesional. Deuze (2003) membedakan empat jenis jurnalisme online, yaitu:

1. Mainstream

2. Indexing and category

3. Meta-journalism and comment

4. Share and discussion

Bardoel (2002) melihat kebutuhan pada dukungan formal untuk memperbaiki standar. Ia membagi atas interaktivitas, hipertekstual, multimodaliti, dan asinkronitas.

Gambaran munculnya situasi ini merupakan suatu usaha untuk mempertahankan batasan antara tradisional dengan aliran jurnalis online, dimotivasi melalui aliran profesionalitas. Berdasarkan studi kasus, McCoy (2001) menggarisbawahi adanya kecenderungan dari pers yang ada untuk memperkuat kekuasaannya sebagai pemberi definisi bagaimana posisi berita dalam tantangan media baru.

Menurut EL Cohen (2002), gambaran yang menarik dari kritik pada jurnalisme online ini adalah argument bahwa mereka lebih memacu pasar dan iklan daripada mengembangkan jurnalis surat kabar.

HUBUNGAN DENGAN KELOMPOK PENEKAN DAN KELOMPOK KEPENTINGAN

Hubungan antara media dan masyarakat adalah hubungan informal, tetapi terorganisir. Kelompok penekan mencari pengaruh langsung apa yang media lakukan, terutama mencoba membatasi yang ditayangkan oleh media tersebut, seperti masalah agama, berhubungan dengan pekerjaan atau politik, moralitas, dan lain-lain. Di beberapa negara, masyarakat dapat menekan media secara legal untuk memberikan perhatian secara positif kepada kelompok suatu suku bangsa, perempuan, kelompok gay dan lesbian, anak-anak, orang miskin, orang cacat, tunawisma, dan orang berpenyakit jiwa. Media berhati-hati menangani segala tekanan dan keberatan, serta mengalah pada aturan tersebut, terkadang kesuksesan ini juga karena pengaruh dari agensi luar. Hal ini terjadi ketika media komersial menjadi ancaman bagi media lain, atau ketika media tersebut memberitakan hal buruk yang ditakuti dapat menimbulkan berbagai masalah. Sukses juga tergantung pada tingkat dukungan antara masyarakat umum dengan kelompok pembela.

Suatu hal yang tidak mungkin membagi ketidakpantasan tekanan suatu media dari kecenderungan umum, dan mencoba menyenangkan khalayaknya (dan pengiklan), seperti dimungkinkan untuk menghindari melukai kaum minoritas dan membesarkan hati para aktivis anti sosial. Media berhati-hati pada tindakan balas dendam dan condong untuk menghindari kontroversi yang tidak pasti dalam lingkup domain masyarakat.

HUBUNGAN ANTARA PEMILIK DAN KLIEN

Isu utama dalam hubungan ini adalah untuk memperluas organisasi media yang dapat menuntut untuk melatih otonomi dalam hubungan tersebut, dimana yang pertama ditujukan pada pemilik sendiri, dan yang kedua pada agen-agen ekonomi lain yang berada dalam lingkungan mereka, khususnya para penyedia dana operasional (investor, pengiklan, sponsor). Biasanya ada beberapa tinjauan otonomi pada komunikator.

Pengaruh Pemilik

Pemilik media bebas menggunakan medianya untuk propaganda, tetapi resikonya adalah kehilangan pembaca dan kredibilitas surat kabar itu sendiri. Dampak umum dari monopoli kepemilikan media terbukti sulit untuk dikurangi, walaupun ada sedikit keraguan bahwa monopoli kepemilikan media dibatasi oleh kebebasan berekspresi dan pilihan konsumen.

Pengaruh Pengiklan

Struktur dari kebanyakan industri media massa di negara-negara kapitalis mencerminkan ketertarikan para pengiklan dan bukanlah sebuah ketidaksengajaan dimana permintaan media sering serempak dengan divisi konsumen lainnya. Disain media, lay out, perencanaan, dan penjadwalan sering mencerminkan ketertarikan. Yang paling mudah didemonstrasikan adalah dimana pengiklan dapat langsung mempengaruhi keputusan publikasi mereka secara signifikan sesuai dengan ketertarikan mereka masing-masing, diluar apa yang sudah lengkap di dalam sistem.

HUBUNGAN DENGAN KHALAYAK

Khalayak adalah bagian terpenting dari klien dan mempengaruhi organisasi media manapun. Penelitian memperlihatkan bahwa khalayak memiliki penonjolan yang lambat untuk banyak komunikator. Bagaimanapun juga manajemen selalu mengikuti rating dan figur penjualan.

Musuh untuk Khalayak

Kriteria yang paling dominan diaplikasikan oleh organisasi media adalah rating. Kebanyakan organisasi media dengan beberapa pembenaran tidak mengenal rating sebagai alat ukur yang sangat reliabel untuk mengukur kualitas dari dalam. Mungkin saja permusuhan pada khalayak adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan oleh media respondennya sendiri, karena ada pembuktian bahwa beberapa masyarakat media memiliki perilaku positif bagi khalayaknya walaupun pada tingkat yang abstrak. Ketegangan antara profesionalisme kaum media dan tuntutan khalayak. Rating adalah kriteria dominan bagi media organisasi. Namun rating bukan yag terpenting bagi profesional media.

Keterasingan dan Ketidakpastian

Sebagian besar komunikator di media yang sudah didirikan tidak mengkonsentrasikan diri pada respon khalayak, dan mereka dapat membuat keputusan tentang isi media secara matang dari respon apapun. Perilaku pada khalayak diarahkan dan dibedakan berdasarkan peraturan.

Citra Khalayak

Menurut Gans, partisipasi khalayak dalam pembuatan film berdasarkan citra khalayak sudah dimengerti oleh pembuatnya. Shoemaker and Reese menyimpulkan bahwa jurnalis menulis untuk kepentingan utama dirinya sendiri, editornya, dan untuk jurnalis lainnya. Harus diingat bahwa berkomunikasi dengan khalayak luas memiliki permasalahan tentang mendapatkan pesan yang silang. Khalayak hanyalah penonton, yang mengobservasi dan menghargai, tetapi tidak berinteraksi dengan pengirim pesan dan penampilnya. Umpan balik dari rating tidak dapat memberi tahu bagaimana cara memperbaiki program televisi walaupun sampai setelah program tersebut dibuat.

ASPEK STRUKTUR DAN DINAMIKA INTERNAL

Analisis-analisis yang telah ada menitikberatkan pada tingkat diferensiasi dan divisi dalam batas-batas organisasi. Ada beberapa sumber dari divisi. Satu yang paling jelas adalah adanya fungsi yang berbeda-beda (seperti berita, hiburan atau iklan) dari banyaknya organisasi media, dengan tingkat kepentingan yang berbeda-beda dan saling berkompetisi dalam status dan finansial. Pelaku organisasi media berasal dari berbagai latar belakang sosial, umur, dan jenis kelamin yang berbeda-beda.

Keberagaman Tujuan Internal

Selain mengombinasikan berbagai tujuan untuk menempatkan diri dalam konteks sosialnya, organisasi media massa juga memahami tekanan-tekanan yang ada, serta membantu memilah-milah pekerjaan utama yang tersedia bagi para pekerja media. Hal ini merupakan salah satu aspek esensial dari ambiguitas umum suatu peranan sosial. Engwall menyatakan bahwa surat kabar memiliki karakteristik sebagai ”hybrid organization” dimana surat kabar tidak dapat secara nyata diposisikan dalam dua kunci dimensi organisasi sekaligus, yaitu dimensi manufaktur-servis dan dimensi variasi teknologi produk dan kegunaan. Organisasi yang memproduksi surat kabar terlibat dalam dua aspek, yaitu menghasilkan suatu produk, serta memberikan pelayanan, dengan tidak terlepas dari keberagaman teknologi produksi, dari yang sederhana hingga yang kompleks. Hal ini juga berlaku pada organisasi media massa lainnya, termasuk media penyiaran. Menurut Engwall ada beberapa budaya kerja, tergantung keberagaman tujuan, diantaranya berorientasi pada berita (news oriented), berorientasi pada politik (politically oriented), berorientasi pada ekonomi (economically oriented), dan berorientasi pada teknis (technically oriented). Dapat dikatakan bahwa organisasi media secara internal terbagi dalam tujuan-tujuan yang berbeda antara satu dengan lainnya.

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU DARI KOMUNIKATOR MASSA

Ada asumsi bahwa karakteristik individu yang berhubungan dengan proses produksi media, akan mempengaruhi isi dari media tersebut. Misalnya, kepribadian dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang penulis akan berpengaruh pada novel hasil karyanya. Ada sebuah harapan bahwa media dapat merefleksikan masyarakat. Media akan menyajikan apa yang diinginkan oleh audiens dan tidak terlepas dari perbedaan latar belakang, nilai dan kepercayaan yang dimiliki oleh para pekerja media. Tetapi sebagian produksi media tidak dilakukan oleh individu, melainkan oleh sebuah tim. Sehingga ide-ide personal yang dimiliki individu tidak terlalu relevan, meskipun adanya kecenderungan dari media untuk mempromosikan seorang bintang dan selebritis.

Perempuan dalam Organisasi Berita

Dalam berbagai penelitian yang dilakukan, gender selalu dikaitkan dengan konteks organisasional. Ada dua isu yang berbeda, antara otonomi jurnalistik versus determinasi (dengan kekuatan eksternal atau hirarki organisasi atau ”media logic”), dan antara keinginan untuk berubah dalam bentuk asli berita dan arah yang akan diambil. Tidak ada satupun isu berupa argumen melawan fakta adanya perbedaan gender, atau melawan kesetaraan bagi pekerja perempuan, dan tidak ada pula yang menentang perubahan. Berbagai isu yang ada saling terpisahkan dan tidak dapat disatukan dalam kerangka umum tentang banyaknya perempuan dalam organisasi berita. Banyaknya perubahan-perubahan yang dilakukan oleh media, termasuk usaha untuk menambah jumlah pembaca perempuan, menyebabkan kekuatan perempuan dalam organisasi berita kian bertambah, dan menyebabkan terjadinya tren feminis. Sehingga, perempuan pun menjadi semakin independen, yang meningkat posisi dan kekuatannya dalam organisasi media.

KONFLIK PERAN DAN DILEMA-DILEMANYA

Terdapat banyak tipe laten konflik dalam organisasi media yang disebabkan oleh beberapa faktor, yang biasanya menggambarkan ketegangan antara pekerja media dengan pemegang kendali dalam media. Menurut Bantz, kultur organisasional dari organisasi berita itu sendiri berorientasi konflik. Hal ini didasarkan pada faktor-faktor ketidakpercayaan terhadap sumber-sumber eksternal, konflik antara norma-norma profesional versus norma bisnis dan hiburan, dan kompetisi berita.

Murel Cantor mengklasifikasikan tiga tipe utama pada sekelompok pekerja produksi yang membuat film, tipe pertama yaitu ‘film makers’, yang terdiri dari orang-orang muda, berpendidikan, dan berambisi untuk menjadi sutradara film di masa yang akan datang, tipe kedua adalah kelompok penulis-produser, yang bertujuan untuk membuat cerita bermakna yang dapat dikomunikasikan dengan masyarakat luas, dan tipe yang ketiga didominasi oleh orang-orang yang lebih tua, yaitu para produser yang kurang berpendidikan, yang orientasi utamanya mengabdi pada jaringan televisi tempatnya bekerja dan karir mereka di sana. Dari ketiga kelompok ini, yang paling jarang berkonflik dengan dengan manajemen adalah yang ketiga, dan yang paling sering berkonflik adalah kelompok kedua, dikarenakan perbedaan tujuan dalam penyampaian program. Dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi antara organisasi media dan para pegawainya biasanya disebabkan oleh motif politik atau media, yang menghalangi kebebasan ekspresi individu.

Hal paling utama dalam dunia media adalah kemampuan untuk mengolah berita menurut aturan-aturan yang ada. Pandangan pribadi harus dikesampingkan demi menyampaikan berita. Jelas terlihat bahwa kekuasaan dari para pemilik media dan para chief editor dalam mempengaruhi isi berita merupakan sumber utama konflik. Gans menemukan beberapa ambiguinitas mengenai kekuasaan para eksekutif tersebut atas reporter.

Menurut Turow(1994) konflik sering terjadi di antara media yang berada di bawah perusahaan yang sama. Nilai profesional jurnalistik menginginkan kebebasan untuk melaporkan kontroversi yang mungkin dapat merugikan kepentingan komersil dari perusahaan induknya. Tidak jelas seberapa besar kekuakatan yang dimiliki oleh para pemilik media dan pemimpin redaksi dalam mempengaruhi isi media ini dapat dikatakan sebagai sumber konflik.

Pada satu sisi, mereka memang membuat aturan agar suatu program dapat sesuai dengan kepentingan komersil dan politik perusahaannya, serta mempunyai hak untuk ’menyarankan, memilih, dan memveto berita atau acara apapun yang mereka inginkan’. Tapi di lain pihak, mereka tidak menggunakan kekuasaannya pada basis harian.

KESIMPULAN

Bidang media sangat lemah dalam bidang kelembagaan apabila dibandingkan dengan bidang-bidang profesi lainnya seperti kesehatan dan hukum, dikarenakan kesuksesannya ditentukan oleh naik turunnya minat masyarakat atas sesuatu. Di luar dari performance skills, sulit untuk menentukan inti dari pencapaian media. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan untuk menarik perhatian dan membangkitkan minat masyarakat, kemampuan untuk membaca selera publik, dan kemampuan untuk menyajikan program-program yang dapat dimengerti dan dinikmati oleh masyarakat. Dengan kata lain, “know the media business” atau “have a nose for news”. Tidak satupun dari faktor-faktor tersebut dapat diperbandingkan dengan profesi lain. Perbedaan utama yang membuatnya tidak bisa dibandingkan dengan tingkat profesionalisme tradisional, mungkin dikarenakan media sangat menghargai kebebasan, kreativitas dan pendekatan kritikal. Sangat sulit mengidentifikasi pola dasar profesi komunikasi masa. Dilema utamanya kemungkinan adalah kebebasan versus aturan-aturan yang ada pada lembaga, yang sebenarnya secara ideologi menghargai originalitas dan kebebasan, namun secara organisasional memiliki kontrol yang mengikat.


KOMENTAR

Apa yang dikemukakan McQuail dalam buku ini memang dibuat dalam kondisi dan situasi media di negara barat. Namun apa yang dikemukakannya juga terjadi di Indonesia. Konflik yang paling sering terjadi dalam organisasi media di Indonesia adalah antara bagian pemasaran dan bagian program dari stasiun radio dan televisi. Bagian pemasaran dituntut oleh pemilik untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, sementara bagian program ingin menyajikan acara yang bermutu bagi khalayaknya. Masalah rating menjadi masalah yang sangat penting bagi bagian pemasaran, karena itu berarti akan banyak menjaring pengiklan masuk dalam program dengan rating yang tinggi. Padahal hal ini akhirnya bisa membentuk citra bagi sebuah stasiun televisi sebagai stasiun dengan program yang berselera rendah. Untuk mengimbanginya stasiun televisi memperkuatnya dalam program-program berita dan talkshow.

Dalam kasus radio, bukan rating yang memegang peranan, karena sistem survei yang berbeda dengan televisi. Terkadang suatu radio dengan jumlah pendengar yang lebih kecil dapat mematok harga iklan lebih besar dari yang stasiun radio yang punya pendengar lebih banyak. Pengiklan lebih melihat pada karakteristik pendengar radio dalam menempatkan iklan mereka. Masalah rating lain juga karena lembaga survei di Indonesia yang hanya satu yaitu AC Nielsen, membuat pengiklan tidak hanya melihat dari rating pendengar tetapi juga dari survei internal sebuah stasiun radio. Apalagi banyak yang meragukan apakah metode yang digunakan Nielsen memang memberikan realita yang sebenarnya, khususnya pada bagian penentuan kelas sosial pendengar. Kelas sosial sangat penting karena berhubungan dengan daya beli (buying power) dari khalayak suatu media.

Konflik lain yang dialami oleh para pekerja media adalah dengan pemilik media. Hal ini khususnya banyak terjadi di stasiun radio, di mana pemilik masih banyak ikut campur dalam pengelolaan stasiu radio, termasuk pada penentuan isi medianya. Sejarah terbentuknya radio di Indonesia yang bermula dari hobby si pemilik, merupakan penyebab masih ikut campurnya pemilik dalam penentuan isi media. Campur tangan pemilik lebih berkurang hanya pada stasiun-stasiun radio yang sudah dimiliki oleh tangan kedua yang berasal dari kalangan bisnis. Bagi televisi swasta yang memang didirikan atas landasan bisnis, campur tangan pemilik tidak begitu besar, meski saat ini disinyalir pemilik mulai ikut bermain dalam pengendalian isi berita, apalagi dengan masuknya pemilik ke dalam struktur redaksi.

Media cetak relatif lebih bebas dalam menentukan isi media tanpa campur tangan pemilik, kecuali pada media-media baru di mana pemilik mendirikan media tersebut karena idealisme pemilik. Hal ini mulai marak sejak Mei 1998, saat rezim otoriter runtuh dan kebebasan pers mulai muncul. Bagaimanapun, kepemilikan konglomersi pada media masih menyisakan pengaruh pada isi media baik itu media cetak, maupun media elektronik.